Cara membuat sebuah cerpen dan contohnya

Hai jumpa dengan saya lagi para bloggers. Sekarang saya akan menjelaskan tentang bagaimana sih caranya membuat sebuah cerpen.

Pertama-tama tentukan dulu tema untuk membuat cerpen.

Setelah itu kita harus menentukan dulu konflik apa yang ingin anda ceritakan dalam cerpen tersebut. Semakin menegangkan konfliknya biasanya pembaca akan semakin tertarik

Kemudian tentukan nama tokoh dalam cerpen itu, baut nama yang unik yaa

Untuk memulai membuat cerpen buatlah sebuah timeline atau jalan cerita terlebih dahulu di kertas selembar

Terakhir tentukanlah judul cerpen dan tuangkan timeline tersebut dalam bentuk cerita

Jangan lupa karena namanya cerita pendek harus habis dibaca sekali duduk yaa

Berikut ini saya contohkan sebuah cerpen karya saya sendiri, maklum ya kalau konfliknya agak aneh hehehe 😂😂

Oiya satu lagi, cerpen juga memiliki struktur yakni Abstrak, orientasi, komplikasi, resolusi, dan Koda.

Tali Segitiga di Antara Kilauan Tak Terbatas

Abstrak
Lembah hijau membentang di sudut halamanku. Rintik hujan menyisakan dingin yang menusuk tulang rusukku. Manisnya seduhan teh menemaniku sembari merancang sebuah proyek besar. Hal ini membuatku diam sejenak. Secepat kilat memori itu bangkit. Memori yang telah lama terkubur. Saat tali segitiga itu masih terikat dan belum putus. Aku melirik layar hologramku. Hari ini, 2 Desember 2041. Tepat 20 tahun setelah awal kejadian itu. Kejadian yang membuatnya pergi dari hidupku. Pergi begitu saja seperti debu tertiup angin namun, tujuannya pasti. Hal ini terjadi saat kami baru berseragam putih abu-abu.

Orientasi
Pukul 5 pagi ponselku berbunyi. Aku langsung bersiap-siap berangkat. Langit cerah didampingi matahari yang tersenyum menatapku. Embun dingin membasahi tanganku yang hendak berangkat ke stasiun MRT (mass rapid transit). Sampai di stasiun samar-samar terlihat muka Yanto. Aku menemuinya sambil menunggu Andi. “Ah! Andi selalu telat disaat seperti ini. Lihatlah sudah hampir satu jam namun batang hidungnya tidak terlihat juga”, aku mengucapkannya sambil berteriak. Orang-orang disekitar memperhatikanku. Yanto hanya tersenyum melihatku. Mungkin karena aku jadi buah bibir orang yang lewat tadi. Akhirnya setelah satu jam Si Malas itu menampakan diri juga.
“Sangat pagi kau datang, Las.”
“Las? Siapa itu?”
“Itu kamu, Di!”
“Hahahaha, tahu Han. Dasar Si Master Puisi”, Andi menjawabnya sambil tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tanpa basa-basi kami langsung membeli tiket kereta dan langsung memasuki kapsul berderet itu. Kereta meluncur cepat seperti sebuah peluru yang membelah angin menuju tujuannya, Bogor. Satu jam perjalanan, kami turun dari kereta dan berjalan menuju loket barang. Loket barang ini berteknologi teleportasi yang mampu memindahkan barang antar ruang dan waktu dalam hitungan detik. Alat ini dikembangkan oleh seorang mahasiswa universitas ternama di Bandung. Setelah barang kami sampai, Andi langsung memesan taksi daring.
Mobil yang kami tumpangi langsung menuju wilayah pedesaan. Angin dingin yang menyentuh tanganku memberikan sensasi tenang. Aku mulai melupakan semua beban yang menimpaku. Mobil kami tepat berhenti di sebuah rumah usang. Rumah yang sama sekali tidak tersentuh teknologi itu membuat kami ragu. Benarkah ini tempatnya? Pertanyaan yang terus membayang di kepalaku. Aku memberanikan diri mengetuk pintu lalu ada seseorang yang keluar. Aku bertanya, “ Bolehkan kami meminjam halaman Anda untuk berkemah?” Tatapan matanya yang sebelumnya dingin dan tidak bersahabat langsung memancarkan cahaya kebahagiaan di balik kerutan tua wajahnya. Lelaki itu membolehkan kami meminjam halamannya yang menghadap danau. Siang itu kami memasak mie instan sambil ditemani indahnya danau yang dibalut perbukitan di sekitarnya.

Komplikasi
Siang itu, tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Di menit yang sama, sebuah energi besar bergejolak di perut bumi Jakarta. Sesar baribis bangun dari tidurnya. Amukannya berimbas gempa 8sr di wilayah ibu kota Indonesia itu. Ratusan gedung runtuh, jalur MRT hancur, ribuan korban jiwa tergeletak di hamparan aspal panas. Kami baru mengetahui hal ini saat jam 3 sore melalui aplikasi di ponsel. Orangtua dan adikku masuk dalam daftar korban. Saat matahari mulai condong ke barat, kami diselimuti kesedihan yang mendalam. Tentu, kehilangan keluarga merupakan sakit yang sangat menusuk. Air mata tidak bisa dibendung oleh perasaan gembira. Derasnya sama seperti rintik hujan yang menetes di bajuku. “Besok kita harus pulang!” Yanto berseru. Aku dan Andi setuju. Malam hari itu langit sangat cerah. Bulan puranama menerangkan langit disertai rasi bintang yang indah. Kami bertiga tidur beratapkan bintang. “Sungguh bintang yang indah!”
Langit mengubah dirinya dari hitam menjadi oranye. Kabut masih berkeliaran di sekitar danau. Kami membayar uang sewa pada kakek tua pemilik halaman itu. Lalu kami langsung menuju Jakarta. Stasiun MRT  di seluruh ibu kota hancur, kami terpaksa naik bus. Mesin bus berderum pelan melewati Tol Jagorawi. Mesin hibrida yang sangat halus suaranya membuatku terlelap di sepanjang jalan. Bus berhenti di salah satu stasiun di ibu kota. Pemandangan menyeramkan menyambut kedatangan kami. Hal ini menghancurkan bendungan air mata kami. Cukup dalam hitungan detik Yanto dan aku meneteskan air mata. Andi memilih untuk tetap tegar dan langsung membujukku agar segera ke tempat pengungsian di Monas. Kami memutuskan berjalan kaki ke Monas. Di sepanjang jalan terlihat puluhan pemuda berseragam oranye yang menyusuri runtuhan gedung-gedung. Sampai di tujuan, lapangan monas seperti kolam kecil yang menampung ribuan ikan yang ketakutan dan histeris dengan tangisan mereka. “Loket pendaftaran!” aku berseru sambil menarik tas yang dibawa Yanto dan Andi. Malam itu kami tidur bersama anak lainnya yang ditinggal keluarga mereka.
Hari pertama di pengungsian. Kabut debu masih menyelimuti ibu kota. Matahari tidak menampakan wajahnya. Tidak ada embun yang ada hanya partikel berwarna gelap berterbangan dimana-mana. Kami diberikan masker biru yang bisa bekerja secara otomatis. Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya berjalan mulus. Tidak ada hambatan. Hingga tiba saat itu. Kejadian sepele yang memutuskan tali yang kami genggam. Tali yang terbentuk saat kami masih bermain petak umpet. Tali yang mengikat saat pertama kali bertemu di kantin sebuah sekolah dasar. Aku yang membentuknya, kini aku yang memutusnya dan membakarnya habis.
Bulan ketiga di pengungsian. Persediaan air mulai menipis. Untuk makanan tidak ada masalah, hanya saja porsinya dikurangi. Makanan ter-iradiasi menjadi bahan bakar tubuh kami. Untuk pembelajaran, semua siswa yang tidak memiliki ponsel diberikan tablet pembejaran oleh pemerintah setempat. Aku, Yanto, dan Andi kurang menyukai cara ini. Kami perlu seorang guru. Guru yang bisa membimbing kami kembali ke jalan yang lurus. Sekolah, sekolah, sekolah, hanya itu yang menghantui pikiranku. Malam itu aku merenung. Aku harus bangkit dari keadaan ini. Waktu terus berjalan mengejarku. Aku harus berlari lebih cepat. Aku harus memanjat naik dari jurang kesedihan ini. “Ayah...,” aku menyebut namanya. “ Kamu kelak akan jadi anak yang sukses, Han. Tak peduli seberapa keras dunia padamu. Kau adalah anak yang bisa memotong itu semua. Petiklah buah kehidupan yang palig manis untukmu,” kata-kata ayahku yang selalu kuingat, penyemangat diriku, dan nyali untuk keluar dari jurang ini. Malam itu aku memutuskan melanjutkan sekolah ke Singapura. Masalah biaya? Itu hal kecil. Uang ayah secara hukum diwariskan padaku sebesar tiga triliun. Uang sebanyak itu akan menunjang kehidupanku di negeri singa nanti. Berbeda dengan Yanto, dia memutuskan pulang ke kakeknya di daerah Anyer yang pada hari itu aku tidak tahu alasannya.
Ponselku bernyanyi lagu favoritku yang menandakan fajar telah tiba. Aku melirik ke layar ponsel. 4 Maret 2022. Pada awalnya aku beranggapan ini akan jadi hari terbaik, tapi itu semua hanya mimpi belaka. Ini hari terburuk dalam sejarah hidupku. Aku tidak tahu apa yang merasukiku hingga melontarkan kata-kata itu. Pagi itu aku menghampiri Yanto yang terlihat bahagia dengan makanannya. Wajahnya yang ceria semakin terlihat ketika ditimpa sinar matahari pagi. Angin dingin membawa embun yang membuat lembab jaketku. Jaket kulit bermerek crocodile itu terasa basah hingga ke seratnya. Aku menghampirinya. “Yan, kayaknya kamu lagi bahagia nih...,” aku memulai obrolan pagi itu. “Gini Han, aku mau pindah ke Anyer, rumah kakekku,” Yanto menjawabnya sambil tersenyum. “Kenapa kamu tidak ikut Aku dan Andi ke Singapura, Yan?” Yanto yang awalnya senang langsung diselimuti rasa menyesal.
“Seperti ini Han, ayahku meninggal karena gempa 3 bulan lalu. Walaupun ayahku seorang bawahan presiden, ibuku pergi entah kemana dengan semua uangnya.”
“Ayo Yan, kita kan sahabat dari kecil. Ingat kan waktu itu kamu yang menumpahkan jus di sepatuku saat kita bertatapan mata di kantin SD?” aku tetap membujuknya. Wajah Yanto kembali tersenyum sedikit dengan menjawab, “ Hahahahaha, aku masih ingat peristiwa itu, Han. Tapi untuk ke Singapura aku tetap tidak bisa Han! Tidak bisa! Titik!” Yanto mengatakannya dengan berbeda. Ada yang aneh dengan sahabatku. Cara bicaranya berubah. Mungkin ini yang membuatku mengeluarkan kata-kata itu. Seketika kata-kata itu melesat melalui kerongkongan, menuju ujung lidah, dan langsung keluar. “Payah kamu, Yan. Kalau tahu ibumu itu pencuri uang lebih baik dari tadi tidak aku ajak dirimu. Tahu tidak? Buang-buang waktu aku bicara denganmu yang otaknya keras seperti batu! Dasar kau orang yang tidak berperasaan. Temanmu mengajak dan kau tidak setuju. Masalah uang? Hah? Alasan klasik, Yan!” aku mengatakannya sambil menunjuk Yanto. Dia langsung diam mendengar kata-kata itu. Dia pergi tanpa menoleh sedikitpun. Aku kehilangan dirinya di hari itu. Dirinya yang meninggalkanku dengan Andi di sini. Mungkin dia ditakdirkan hidup di garis yang berbeda. Aku menceritakannya pada Andi, dia memihakku lalu kami berdua pindah ke Singapura pada pertengahan Maret.
Evaluasi
Pesawat airbus bertipe A330-400 yang bertenaga nuklir itu menapakkan rodanya di ladang aspal Bandara Changi, Singapura. Pesawat berjalan perlahan dan menyenderkan dirinya di salah satu garbarata. Dari Bandara Changi, kami langsung menuju Lucky Plaza Apartement. Di sana, kami membeli sebuah kamar untuk dipakai berdua. Kami melanjutkan sekolah di SMA swasta dekat apartemen. Selama dua tahun kami menjalani sekolah dengan normal. Kami lulus dan melanjutkan kuliah di NUT (Nanyang Technological University). Aku mengambil jurusan teknologi geo, sedangkan Andi mengambil jurusan manajemen bisnis. Tiga semester kami lalui dengan baik, hingga akhirnya kami lulus. Sudah 6 tahun kami di Singapura, kenangan itu belum merasukiku, mendorongku, dan memaksaku meneteskan air mata diantara semua kesedihanku. Tinggal menunggu waktu saja untuk mendatangkannya padaku.
Malam itu, setelah Andi terlelap, aku keluar sebentar. Menatap indahnya kota dari  bingkai jendela di lantai 30. Sungguh menyejukan hati. Entah bagaimana kenangan itu terpancing dengan sendirinya. Seperti ada kail yang menariknya. Aku, akulah kail tersebut. Aku yang memancing penyesalanku sendiri. Pemandangan indah di depanku seakan-akan berubah jadi lanskap hancurnya Jakarta saat itu. Wajah Yanto masuk dalam mimpiku malam itu. Mimpi yang indah. Mimpi dimana aku menyatukan kembali tali segitiga ini. Ikatan yang diwarnai keceriaan anak SD hingga SMA. Semua hal indah itu berhasil dipersatukan kembali. Namun itu hanya mimpi. Tapi aku akan mewajudkan mimpi tersebut. Mimpi kecil seorang Hanzel yang kehilangan temannya. Mimpiku, mimpi kami bertiga. Saat lingkaran berwarna kuning menampakan dirinya di ufuk timur, aku dan Andi bergegas kembali ke Jakarta. Dengan satu tujuan, tali ini harus menyatu!

Resolusi
Kota Jakarta telah bangkit kembali. Selama 6 tahun tidak terlihat kini kota metropolitan ini menjadi salah satu dari 5 kota tercanggih di dunia. Bus yang kami tumpangi merapat ke halte dekat bundaran HI. Kami mulai menelusuri jejak kehidupan Yanto. “Han, mungkin Yanto sekarang kuliah di UI”, Andi memberi saran padaku. “Oiya, dulu dia pernah mengatakannya padaku kalau dia ingin menjadi seorang dokter anak”, aku membalasnya. Kami berdua sepakat menuju fakultas kedokteran UI untuk mencari tahu. Ternyata benar! Yanto memiliki sejarah prestasi luar biasa di fakultas tersebut. Dia dikenal dengan sebutan Si Master. Aku dan Andi menunggunya di sebuah kedai dekat tempatnya menuntut ilmu. Kami dikelilingi perasaan bangga. Seorang Yanto yang dulu hidupnya selalu diterjang badai, sekarang memetik hasil hidupnya di tempat ini. Matahari semakin bergerak ke Barat, wajahnya mulai tertutup awan yang tebal. Sudah pukul 4 sore, namun Yanto tidak terlihat juga. Kami putus asa dan akhirnya hendak beranjak ke hotel. Baru saja kami mau angkat kaki dari kursi kedai itu, ada sapaan hangat seseorang dibelakang kami. Sapaannya seperti api yang menghangatkan diriku saat dingin. “Hai Hanzel! Hai Andi!”, Yanto menyambut kedatangan kami dengan sapaan yang bersahabat. “Yanto!”, aku langsung memeluknya. Orang di sekitar mungkin menganggapku tidak waras. Aku tidak peduli. Pancaran kebahagiaan dari raut mukanya terlihat. Mungkin dia lupa masalah 6 tahun lalu. Besok aku akan membawakannya hadiah spesial yang akan menjadi saksi bisu kembalinya pertemanan kami. Dia kepingan segitiga yang hilang dan menjadi bahan pemersatu tali ini. Dia yang kunantikan selama 6 tahun.
Aku mengajaknya makan malam bersama. Setelah makan kami naik MRT menuju daerah pedesaan. Mencari wilayah perbukitan untuk melihat bintang. “Yan, lihat bintang itu! Sinarnya tidak akan redup dan selalu bersama dengan kawannya. Seperti itulah kita, cahaya yang tidak redup dan akan selalu bersama”, aku mengatakan hal itu dalam keheningan langit malam. Yanto hanya tertawa dengan menjawab, “ Jangan melebih-lebihkan. Aku tahu kamu suka menulis puisi dari kecil, Han. Kamu master dari segala majas.” Aku tertawa dan bersenang-senang malam itu. Lalu Yanto  ke rumah kakeknya di daerah Anyer. Malam itu malam yang indah. Sekaligus malam terakhir kami bersama Yanto.

Bencana alam. Hal yang tidak terduga di luar kodrat manusia. Malam itu aku kehilangan dirinya untuk selamanya. Yang pada saat itu aku tidak ketahui. Pagi itu kota Jakarta sangat hening. Berbeda dengan tahun 2017 saat ayah mengajakku ke Monas. Kami berdua bermandikan debu dan asap selama di perjalanan. Tapi hari ini, kota metropolitan ini sangat bersih. Udaranya yang kaya akan oksigen dengan suhu yang cukup sejuk mengkokohkan niatku untuk bertemu dengannya. Ujung jemariku membawa 3 buah kalung yang kubuat sendiri sejak tiga hari lalu. Di ujungnya ada sebuah segitiga yang masing-masing sudutnya terdapat kepingan mutiara. Kepingan mutiara yang berwarna seperti bulan purnama itu terukir nama kami disetiap seratnya. Ada huruf h(Hanzel), y(Yanto), dan a(Andi). Pagi itu, kami akan menemuinya di Anyer. Baru saja kami hendak melangkahkan kaki menuju trotoar, pasukan pesawat kecil tanpa awak berterbangan di langit Jakarta, membawa berita dalam bentuk hologram. Berita yang menyakitkan banyak orang, termasuk aku. Waktu seakan berhenti ketika melihat berita itu. Dingin dan sakit, itulah rasanya. Berita itu meretakkan hati ini. Menusuknya berkali-kali hingga aku sulit bernapas. Seketika berlian berkilau  keluar dari mataku. Jatuh tepat di kalung yang kubuat, mengalir di sepanjang tali emasnya dan membasahi kepingan mutiara. Jatuh ke arah trotoar dan menghilang tertiup angin.
Gempa sebesar 7sr mengguncang Selat Sunda dan mengakibatkan Tsunami yang menghantam daerah Anyer, Cilegon, dan Serang. Hologram itu menampilkan data korban. Aku tak sanggup melihatnya dengan mata sendiri, aku menyuruh Andi melakukannya. Ananda Yanto Saputra. Nama temanku masuk daftar korban no ke 20. Semua korban terdaftar ada di Rumah Sakit Bahari daerah Tangerang Selatan. Bagi keluarga atau orang terdekat korban silahkan datang untuk mengambil jenazah korban. Itulah akhir dari berita hari ini. Pasukan pesawat tanpa awak tersebut kembali ke markasnya. Jiwaku masih dibumbui perasaan sedih yang mendalam. Lidahku merasakan pahitnya kehilangan sahabat. Tapi niatku tetap tergerak untuk menemuinya. Aku melompat dari kursi, memberhentikan bus yang berjalan, lalu masuk bus dan menempelkan jam tangan pintarku pada alat pemindai. Titik tujuan berikutnya Rumah Sakit Bahari, Tangerang Selatan. Tujuanku mengambil jenazahnya dan mengkebumikannya.

Koda
Rumah Sakit Bahari. Di dalam sana, berbaring raga teman kami. Raga yang dulu diselimuti jiwa yang bersinar. Dia orang yang tetap tegar selama hidupnya. Orang yang pernah membawa seberkas cahaya untuk hidupku. Orang  yang akan kuingat selalu. Tawanya bagaikan bunga mekar saat musim semi. Harum dan menyenangkan. Tapi apa yang kulakukan? Aku menghinanya. Sungguh bodoh diriku ini. Membakar tali itu. Saat ingin kubentuk kembali, air memutusnya bagai pisau tajam yang memotong. Maafkan aku Yanto, aku menyesal atas apa yang kuperbuat pada dirimu. Tahukah kamu? Malam itu, saat kita berkemah bersama Andi kita bersama-sama melihat bulan purnama. Bulan purnama yang sangat terang. Dikelilingi bintang-bintang yang kilauannya tak terbatas. Hal itu mendorongku untuk membuat kalung ini. Sebuah kalung segitiga yang dihiasi kepingan mutiara yang terukir nama kita. Kepingan mutiara berwarna menyerupai terangnya bulan purnama yang diikat tali emas berkilau seperti rasi bintang yang saling menyatu. Segitiga tanpa salah satu sudutnya tidak akan lengkap. Tapi, kali ini segitiga kita berbeda bentuk. Bukan sebuah kalung! Melainkan ikatan jiwa antara 3 sahabat yang berbeda bentuk. Tiga jiwa yang saling menyatu. Tidak ada jarak dan ruang. Jiwamu kan selalu menemaniku dan Andi disini. Walupun kau jauh disana. Selamat jalan sahabatku, semoga kau senang disana. Tuhan, berikan tempat yang terbaik untuk sahabatku. Aku ingin dia bahagia. Yanto, sampai jumpa dilain waktu. Dirimu adalah kepingan segitiga yang menyatu di antara bintang-bintang yang kilaunya tak terbatas. Itulah yang bisa dikatakan mulut ini selama di pemakaman. Kalung yang kubuat, kukalungkan di leher Yanto. Menyaksikan jenazahnya dimasukan dalam bumi. Tanah liat menimpa dirinya. Tanah yang dibasahi oleh air mataku. Air mata seorang sahabat. Mataku menatap ke atas sambil berdoa. Langit tampak kosong. Tidak ada cahaya dari sang surya. Pemakaman itu diwarnai oleh hujan yang membawa pergi dirinya dan penyesalanku.
Tiga bulan kemudian aku diterima kerja di BMKG( Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Aku bergabung dalam divisi tsunami. Kebetulan aku lulusan teknik geo universitas NUT Singapura. Hal ini mempermudah diriku diterima di BMKG. Aku bergabung dalam divisi tsunami dengan satu tujuan, aku tidak ingin orang lain kehilangan temannya seperti diriku. Aku ingin orang lain bahagia bersama sahabatnya. Sahabat yang akan selalu setia menemani mereka.
Akhir tahun 2041 menjadi beban bagi ragaku. Rintik hujan masih menetes di atap rumahku. Turun melalui celah di atap dan membasahi rumput hijau di pekaranganku. Layar hologramku berteriak menunjukan pukul 10 pagi. Lamunanku buyar seketika. Teh yang kuseduh tinggal cangkirnya saja. Proyek yang kurancang sudah berjalan setengahnya. Aku keluar sebentar dan mengenggam rumput hijau. Tidur diatasnya dan menatap ke langit yang kosong dan tidak terasa hidup. Bajuku basah karena rintik hujan yang menyatu dengan embun pagi. Udara mengisi ruang kosong di antar tulang rusukku. Setiap napas yang kuhembuskan, perlahan aku mengingat mimpi tadi malam. Dia datang menemuiku diantara bintang-bintang yang berkilau. Senyuman manis yang menjadi ciri khasnya. Dia sangat senang disana. Datang  dengan memakai kalung yang kubuat disertai pancaran cahaya dari tubuhnya. Itulah dia. Kepingan segitiga kami.

Karya: Putu Kevin Surya Wijaya

Bagi yang menginginkan contohnya dalam bentuk word bisa hubungi
email: kevinsuryawi@gmail.com

Komentar